Indonesian version
Kala itu sewaktu masih ada beberapa kali kesempatan untuk menyaksikan pertandingan sepakbola langsung di stadion, saya selalu ingat bahwa pertandingan klub-klub lokal di liga nasional tidak pernah masuk ke jadwal acara saya dan teman-teman saya. Kami seakan menghindari, kalau bisa tidak menyentuh area lebak bulus kalau Persija sedang bertanding. Apa yang salah? Ya, warga Jakarta pasti paham betul. Rusuhnya pertandingan sepakbola kemungkinan besar selalu melengkapi jalannya pertandingan dan merusak wajah stadion dan sepakbola masyarakat yang seharusnya menjadi kebanggaan warga lokal.
Kala itu sewaktu masih ada beberapa kali kesempatan untuk menyaksikan pertandingan sepakbola langsung di stadion, saya selalu ingat bahwa pertandingan klub-klub lokal di liga nasional tidak pernah masuk ke jadwal acara saya dan teman-teman saya. Kami seakan menghindari, kalau bisa tidak menyentuh area lebak bulus kalau Persija sedang bertanding. Apa yang salah? Ya, warga Jakarta pasti paham betul. Rusuhnya pertandingan sepakbola kemungkinan besar selalu melengkapi jalannya pertandingan dan merusak wajah stadion dan sepakbola masyarakat yang seharusnya menjadi kebanggaan warga lokal.
Kerusuhan di Stadion Manahan,
Oktober lalu, mungkin hanya satu dari sekian banyak kerusuhan yang memakan
korban jiwa. Apalagi sejarah permusuhan antara Viking dan The Jak yang
seringkali mendatangkan maut. Berbicara mengenai kerusuhan sepakbola Indonesia
yang seharusnya bisa diatasi dan diminimalisir memang mudah membuat kita
berpaling ke persepakbolaan Negara lain.
Hampir semua teman saya memuja
Manchester United dengan Old Trafford nya, Arsenal dengan Emirates Stadium nya, Chelsea dengan
Stamford Bridge nya, atau Liverpool dengan Anfield nya. Tapi kali ini ada baiknya kita
telisik, apakah mereka mendirikan stadion megah itu dengan sendirinya dan tanpa
alasan. Bahkan tidak hanya klub-klub divisi satu yang dipastikan memiliki
stadion multifungsi modern. Namun klub-klub divisi di bawahnya pun serta merta
merekonstruksi ulang atau membangun dari awal.
Alasannya tentu ada pada sub
budaya fans sepakbola Inggris, hooliganisme. Hooliganisme yang sempat membuat
masyarakat Inggris mempertanyakan tatanan masyarakat mereka yang seharusnya
beradab dan disegani. Mereka juga pernah mengalami fase di mana kerusuhan tidak
dapat dibendung. Tahun 70an hingga 80an bisa
dikatakan sepakbola Inggris sedang amat populer di kelangan pekerja. Saking
populer, kerusahan supporter semakin meresahkan. Puncaknya di tahun 1985 saat
pertandingan Liga Champion antara Liverpool dan Juventus berubah mengenaskan
karena telah memakan korban jiwa sebanyak 39 supporter Juve. Tragedi Heysel ini
lah yang membuat klub Inggris tidak dapat bertanding di kompetisi Eropa selama
lima tahun.
memakan korban
jiwa sebanyak 95 orang akibat membludaknya penonton dan arus yang tidak bisa
diatur. Pertandingan FA Cup antara Liverpool dan Nottingham Forest yang
seharusnya dapat dinikmati tersebut berakhir mengenaskan.
Kali ini para pihak terkait dan
pengamat sepakbola Inggris tidak tinggal diam. Salah satu rekomendasi yang
digunakan oleh asosiasi sepakbola Inggris adalah Hillsborough Stadium Disaster Inquiry atau dikenal dengan Taylor Report. Laporan
sekaligus rekomendasi dari Lord Taylor of Gosforth inilah yang membuat klub-klub liga Inggris
berbenah dan mengeluarkan kocek besar-besaran untuk membangun stadion mereka.
Tidak hanya klub-klub di divisi
satu, namun juga divisi dua diharuskan memiliki stadion dengan kapasitas bangku
penonton yang memadai, keamanan dan pengawasan super ketat, hingga multimedia
dan area media super canggih. Stadion modern menjadi salah satu prasyarat agar
mereka dapat dipromosikan. Sehingga tak heran jika klub-klub lokal di Inggris
serta merta pergi meninggalkan stadion lamanya yang rata-rata sudah berusia
ratusan tahun, seperti Reading FC dengan Elm Park nya menuju Madejski Stadium. Bahkan Brighton &
Hove Albion FC tidak berpuas diri dengan stadion barunya di Whitdean, mereka
bersusah payah untuk membangun stadion multifungsi yang saat ini dikenal dengan
nama AMEX Stadium.
Di stadion yang baru, para
supporter dilarang berdiri, dilarang membawa minuman keras apalagi senjata
berbahaya. Setiap gerak gerik mereka diawasi oleh kamera pengaman. Ini lah yang
membuat masyarakat kelas menengah Inggris dengan senang hati pergi menonton
sepakbola di stadion. Bahkan masyarakat yang bukan pecinta sepakbola rela
merogoh kocek yang tidak sedikit untuk mencicipi duduk di bangku stadion megah.
Barangkali dengan mengulas
sedikit tentang perubahan yang terjadi pada wajah dan fungsi stadion di
persepakbolaan Inggris bisa memberi gambaran bahwa stadion merupakan titik mula
di mana liga Inggris bisa sebesar sekarang. Di mana mereka membuka ruang
sepakbola mereka untuk ranah komersialisme. Karena dengan diperbaruinya wajah
dan fungsi stadion mereka, kesempatan untuk peluang bisnis lain selain tiket
pertandingan mulai berdatangan. Namun yang patut ditekankan, sponsor dan kerja
sama dengan media terutama televisi menjadi penyelamat di saat mereka
membutuhkan biaya untuk membangun stadion mereka.
Pada akhirnya, saya hanya bisa
berkomentar, mungkin dalam beberapa tahun atau dekade ke depan, persepakbolaan
Indonesia akan berubah secara signifikan mengikuti fase yang telah dialami oleh
masyarakat Inggris. Yang kita butuhkan agar kita dapat menjalani fase dengan
lebih cepat adalah motor penggerak atau individu-individu yang sanggup
mengerahkan masyarakat dalam memajukan sepakbola tanah air.
English version
There
was a time when I got chances to see football matches in stadium, but me and my
friends never put the local football matches in our list. We seemed to avoid
having time in a stadium to support our national league even we will stay away
from Lebak Bulus area if we know the home match of Persija is being held. What
is wrong? Yes, people of Jakarta must know better that the footie fans disaster
most probably will occupy the match and ruin the face of our local stadium and disgrace
our local football.
The
disaster in Manahan Stadium last October, may be one of many disasters with dead victim. Evenmore, there is a long rivalry between Viking and The Jak who never
satisfy until they took someone’s life. Speaking of football fans disaster in
Indonesia which is supposed to be handled and minimized, makes us easier to look
into the other football league in other countries.
Almost
all of my friends admire Manchester United with their magnificent Old Trafford,
Arsenal with their Emirates Stadium, Chelsea and their Stamford Bridge, or
Liverpool and their Anfield. But this time we shall see carefully, do they
build their modern stadia out of the sudden? Moreover, not only major clubs in the
first division of Premier League who have a multifunction stadium. The lower
clubs also reconstruct their home or even rebuilt it from the ground.
The
reason should be lied under the sub culture of England football fans, hooliganism.
Hooliganism ever made the British questioning their social culture and
structure which supposed to be civilized and respectful. They did go through
the unsuppressed disasters which in some cases turned to be a tragedy. In 70s
until 80s, football in England might be very popular among the working class. Because
of the popularity, the disaster became more troubling. The peak was in 1985
when Liverpool had to play Juventus in Champions League and the match turned to
be a deadly tragedy with 39 dead Juventus fans. Heysel Tragedy made the English
clubs be banned from European competition for five years.
However,
it seemed to not stop the tragedy of football match when there was a huge
disaster in Hillborough four years later. The Hillborough disaster sent 95
football fans to the death because of overcrowded and uncontrolled spectators
in the stadium. The FA Cup match between Liverpool and Nottingham Forest tragically ended when it supposed to be enjoyable for everyone.
This
time the authorities and football expertise would not stand aside anymore. One of the
recommendations made by Football Association (FA) is the Hillsborough
Stadium Disaster Inquiry or has known as Taylor Report. The report as
well as recommendation by Lord Taylor of Gosforth set the reformation of
English football and made the clubs dig their pocket to rebuild their stadia.
Not
only for clubs in the first divion, but the lower ones should also own the
all-seater stadia with sufficient capacity, sanitized and controlled space with
surveillance camera, also the highly equipped multimedia and press area. Modern
stadia becomes one of the enquiries for them to be promoted. Therefore, we
could see the local clubs left their old stadium which averagely stood for hundred
years, such as Reading FC who left their Elm Park for Madejski Stadium. The other
is Brighton & Hove Albion FC who could not satisfy with their new stadia in
Whitdean, they hardly campaigned to build multifunction stadium which is now
called AMEX Stadium.
In the
newly built stadium, the spectators are not allowed to stand or even jump up,
cannot bring their beer inside the stadium (other alcoholic drinks are included
for sure), moreover they cannot put a dangerous weapon in their pocket. Every
single move is being watched from the surveillance camera. That is the thing
which makes the stadium more secure and friendly for the casual audience who is
in the middle class segment. Evenmore, we can see more women watch the games in
stadium and some people who know nothing about football are willing to spend
their money for the expensive ticket price in order to taste the stadium, they watch
it because it is a trend and a lifestyle.
By
writing about the changing face of the English football stadium, perhaps sport
people in Indonesia can understand that stadia shall be the starting point to
rebuild our beloved local football and turn it into a serious business like
happened in England. They open their football space for marketization into
becoming a global business. By rebuilding their stadium, they open the chance
to other sector and revenues not only rely on the ticketing. But the most
important is the sponsorship and media partnership especially from the TV rights turn to be the savior from their debt because of massive stadium construction.
Lastly,
I can only comment, perhaps in the following years or decades, Indonesian
football will find themselves to reform as the phases which had been through by
the English. What we need is the individuals who care enough to lead the way and
the people who has been waiting for so long to see our football league shinning
and dignified.
Sumber foto:
https://masshar2000.files.wordpress.com/2014/10/wpid-kerusuhan-pecah-di-laga-persis-solo-martapura-ulo1.jpg?w=630
https://s3.amazonaws.com/ksr/projects/634749/photo-main.jpg?1397829103
http://the72.co.uk/wp-content/uploads/2014/11/Amex-Stadium.jpg
http://i2.getreading.co.uk/incoming/article4044340.ece/alternates/s2197/stx-Madejski-Stadium.jpg
0 comments:
Post a Comment